Jumat, 12 Maret 2010

Sejarah dan Sistem Politik di Indonesia, Pembangunan Ekonomi Daerah dalam Konteks Pemulihan Ekonomi Nasional, Lingkungan Sosial dan Budaya

SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA

Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.

Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan

Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.

Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.

Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).

Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :

1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.

2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.

4. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.

5. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.

6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.

Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:

a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.

b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik

PROSES POLITIK DI INDONESIA

Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:

- Masa prakolonial

- Masa kolonial (penjajahan)

- Masa Demokrasi Liberal

- Masa Demokrasi terpimpin

- Masa Demokrasi Pancasila

- Masa Reformasi

Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :

· Penyaluran tuntutan

· Pemeliharaan nilai

· Kapabilitas

· Integrasi vertikal

· Integrasi horizontal

· Gaya politik

· Kepemimpinan

· Partisipasi massa

· Keterlibatan militer

· Aparat negara

· Stabilitas

Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :

1. Masa prakolonial (Kerajaan)

· Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi

· Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan

· Kapabilitas – SDA melimpah

· Integrasi vertikal – atas bawah

· Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan

· Gaya politik - kerajaan

· Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan

· Partisipasi massa – sangat rendah

· Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang

· Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah

· Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang

2. Masa kolonial (penjajahan)

· Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi

· Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham

· Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah

· Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis

· Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi

· Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)

· Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat

· Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada

· Keterlibatan militer – sangat besar

· Aparat negara – loyal kepada penjajah

· Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah

3. Masa Demokrasi Liberal

· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani

· Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi

· Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial

· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas

· Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator

· Gaya politik - ideologis

· Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928

· Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta

· Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil

· Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai

· Stabilitas - instabilitas

4. Masa Demokrasi terpimpin

· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas

· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah

· Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju

· Integrasi vertikal – atas bawah

· Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,

· Gaya politik – ideolog, nasakom

· Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik

· Partisipasi massa - dibatasi

· Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan

· Aparat negara – loyal kepada negara

· Stabilitas - stabil

5. Masa Demokrasi Pancasila

· Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi

· Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM

· Kapabilitas – sistem terbuka

· Integrasi vertikal – atas bawah

· Integrasi horizontal - nampak

· Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan

· Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI

· Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi

· Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI

· Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)

· Stabilitas stabil

6. Masa Reformasi

· Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi

· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi

· Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah

· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas

· Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)

· Gaya politik - pragmatik

· Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi

· Partisipasi massa - tinggi

· Keterlibatan militer - dibatasi

· Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah

· Stabilitas – instabil

SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA

Materi Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia yang merupakan Modul 2 dari pelaksanaan Simpul Demokrasi menjadi agenda pelaksanaan Sekolah Demokrasi V Detail materi yang dilaksanakan selama pelaksanaan 2 hari sekolah demokrasi tersebut, meliputi: Sistem Politik, Kepartaian dan Pemilu di Indonesia yang disampaikan oleh penulis modul langsung Prof. DR. Ichlasul Amal, “Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan dalam Demokrasi” yang disampaikan oleh Drs. Luqman Hakim, M.Sc dan “Desentraliasi Sistem Pemerintahan” oleh DR. Mas’ud Said. Sedangkan materi tentang “Klasifikasi Struktur Organisasi Negara” disampaikan melalui metode diskusi kelompok yang dipandu oleh Fasilitator. Begitu pula dengan materi “Pemberdayaan DPR dalam Demokrasi” dilakukan dengan bermain peran dan diskusi kelompok.

Kegiatan dimulai pada 27 Mei 2006, Kegiatan ini dihadiri oleh 20 orang peserta dari 25 orang peserta simpul demokrasi, yaitu; Ainul Yaqin, Any Rufaidah, Ari Wahyu Astuti, Azizah Hefni, Eko Budi Prasetyo, H. M. Taqrib, Hasan Abadi, Henry Wira Novianto, Isnaini Rahayu, Khofidah, M. Wahyu Trihariadi, Samsul Arifin, Syahrotsa Rahmania, Zany Pria Romadudin, Andry Dewanto, Hikmah Bafaqih, M. Najib Ghoni, M. Nor Muhlas, Dewi Masita, dan M. Munir Aly. Peserta tetap yang tidak hadir adalah 5 orang adalah Daniel E. Molindo, Imron Rosyadi, M. Munir, Siyadi (Izin tidak hadir), dan Gunawan (izin tidak hadir karena ada pelatihan di Jakarta). Peserta tidak tetap 3 orang yang hadir diantaranya; Setyo Wahyudi, Marsudi, Anis Wahyu Harnanik. Kegiatan ini diawali dengan kegiatan pembinaan suasana dengan ice breaking yang dipandu oleh fasilitator. Ice breaking yang dilakukan adalah dengan menebak identitas teman sesama peserta. Fasilitator membagikan form kepada masing-masing peserta yang berisi pertanyaan yang terkait dengan data diri peserta, yang meliputi umur, hoby, yang disukai, yang tidak disukai dan sebagainya. Setelah peserta mengisi form tersebut, kemudian fasilitator mengumpulkan dan membagikan kembali secara acak kepada masing-masing peserta, lalu fasilitator meminta setiap peserta secara bergiliran untuk membaca form isian yang diterimanya dan menebak identitas siapakah yang tertulis dalam form yang diterimanya. Game ini dilaksanakan bertujuan untuk lebih mempererat ikatan antar peserta dengan lebih mengenal karakter masing-masing peserta di samping bertujuan untuk mencairkan suasana sebelum masuk pada materi inti.

Diskusi kelompok tentang prawacana tentang materi tentang sistem politik dan pemerintah (hal 6 dan hal 11 modul) yang dibahas oleh kelompok 1 dan materi tentang Klasifikasi Struktur Organisasi Negara dan Pemerintahan (hal 42 dan 45 modul) dibahas oleh kelompok 2. Setelah dilakukan diskusi kelompok dilakukan diskusi kelas yang dipandu oleh fasilitator dengan cara masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Kelompok satu menyampaikan bahwa permasalahan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tidak berjalannya fungsi-fungsi Negara yang banyak diperankankan oleh eksekutif bersama legislative, dalam konteks perumusan kebijakan public actor yang paling banyak berperan justru invisible hand yaitu kelompok pemilik modal. Struktur partai politik yang lebih didominasi oleh DPP seringkali memasung otonomi yang dimiliki oleh struktur partai yang ada di daerah. Dicontohkan dalam hal ini oleh kelompok satu adalah pada saat penetapan calon Kepala Daerah. Kelompok dua mencoba menguraikan beberapa kalsifikasi terhadap bentuk Negara dan bentuk pemerintahan. Inti kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh kelompok dua adalah apapun bentuk Negara maupun pemerintahan, yang penting bagi rakyat adalah kesejahteraan. Peserta dari kegiatan ini sangat aktif dan respon terhadap materi Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia, karena materi ini sesuai dengan perpolitikan, kepartaian, dan sistem pemerintahan Indonesia. Selain itu, mayoritas peserta Sekolah Demokrasi ini adalah pelaku aktor dari berbagai organisasi politik dan kemasyarakatan, sehingga bisa dikatakan tepat.

Sesi materi tentang Sistem Kepartaian dan Pemilu disampaikan oleh Prof. Ichlasul Amal yang lebih banyak bercerita tentang kondisi empiris bagaimana implementasi sistem kepartaian Indonesia mulai sejak zaman Orde Baru dan pasca orde baru dengan sistem multi partai. Narasumber juga banyak memberikan perbandingan dengan sistem kepartaian di beberapa Negara seperti Jerman, Amerika dan Australia termasuk Sistem Pemilunya. Forum berlangsung secara dinamis dan interaktif. Beberapa pertanyaan kritis yang disampaikan peserta antara lain adalah sebagai berikut: terkait dengan sistem distrik dan proporsional kelebihan dan kelemahan, ada beberapa peserta yang memberikan ilustrasi kasus-kasus Pemilu 2004 terkait dengan keberadaan sistem distrik dan proporsional yang dilaksanakan setengah2 di Indonesia.; Tentang hak recall juga sempat menjadi perdebatan serius dalam forum tersebut, di mana disampaikan bahwa mestinya yang berhak merecall anggota DPR/D adalah konstituennya dan justru bukan DPP serta kejelasan ketentuan tentang recalling agar partai tidak seenaknya merecall anggota DPR/D; Peserta ada juga yang memberikan refleksi proses pemilu dan implementasi sistem kepartaian di Indonesia, lalu muncul pertanyaan dari berbagai sistem kepartaian dan pemilu manakah yang paling ideal?

Materi tentang bentuk Negara dan pemerintahan disampaikan oleh Drs. Luqman Hakim, M.Sc, yang lebih banyak bicara tentang Teori Demokrasi dari masa-kemasa. Narasumber juga memberikan gambaran tentang berbagai warna dan bentuk demokrasi di berbagai Negara barat seperti Inggris, Perancis dan Amerika. Wacana yang berkembang dikalangan peserta tentang Demokrasi Pancasila serta sistem demokrasi apa yang paling ideal untuk diterapkan di Indonesia. Namun dari keseluruhan wacana yang berkembang selama materi ini lebih banyak mengupas pada konsepsi dasar dari prinsip-prinsip demokrasi, yang meliputi: bentuk pemerintahan banyak orang, kesatuan tiga nilai: Kemerdekaan persamaan dan persaudaraan, kompromi dan persuasi serta legitimasi berdasarkan dukungan oleh masyarakat luas.

Materi Pemberdayaan DPR dalam Demokratisasi difasilitasi dalam bentuk bermain peran, dimaana peserta mensimulassikan proses pemilu dan bagaimana membangun komunikasi politik dengan konstituen. Setelah terpilih anggota legislative, maka disodorkan sebuah kasus kepada peserta tentang pro dan kontra revisi UU Ketenagakerjaan, dimana peserta dibagi menjadi kelompok yang mewakili buruh dan pengusaha. Menyikapi kondisi tersebut, anggota legislatif terpilih diminta untuk menyikapi dengan menggali aspirasi dan serta mengambil keputusan apakah menerima atau menolak rencana revisi UU Ketenagakerjaan tersebut. Pembelajaran yang diperoleh dari proses permainan peran tersebut menggambarkan realitas kondisi parlemen di Indonesia. Pasca permainan peran diberikan pencerahan serta refleksi tentang kondisi parlemen saat ini.

Hari ditutup dengan refleksi dan evaluasi terkait perjalanan program simpul demokrasi di Kabupaten Malang yang dilakukan oleh semua peserta. Hasil evaluasi meliputi bagimana dengan tingkat partisipasi, peserta yang hadir memiliki komitmen bahwa keberadaan program ini sangat dibutuhkan oleh peserta. Kalaupun ada beberapa sesi peserta tidak hadir dikarenakan waktu yang berbenturan dengan aktivitas rutin dari peserta Simpul Demokrasi.. Sehingga muncul wacana penggantian pelaksanaan Sekolah Demokrasi dari setiap hari sabtu dan minggu menjadi dimulai hari Jumat dan Sabtu, namun berbagai pandangan dan usulan peserta tersebut tetap menyepakati jadwal semula, namun diterapkan mekanisme surat ijin bila berhalangan hadir dalam kegiatan SD. Terkait dengan materi-materi yang sudah disampaikan , menurut peserta seringkali terjadi pengulangan materi-materi yang sudah disampaikan terdahulu, contohnya seperti materi tentang bentuk Negara dan bentuk pemerintahan dalam demokrasi yang pembahasan oleh narasumber cenderung lebih banyak mengupas tema konsepsi demokrasi yang telah dibahas pada awal-awal pertemuan SD.

Sesi hari Minggu diawali dengan bina suasana, dan dilanjutkan dengan materi tentang desentraliasi yang disampaikan oleh DR Mas’ud Said. Narasumber banyak memberikan catatan-catatan perjalanan desentraliasi serta fakta-fakta empirik perkembangan desentralisasi di Indonesia. Peserta banyak juga merefleksikan proses perjalanan desentralisasi di Indonesia dengan mengutarakan berbagai penyakit desentralisasi termasuk salah satunya adalah desentralisasi korupsi.

Sekolah Demokrasi V diakhiri dengan koordinasi untuk melakukan advokasi masyarakat dan investigasi terkait dengan pencemaran limbah di Malang Selatan yang dipandu oleh salah seorang peserta sekolah.

PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DALAM KONTEKS PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL

Tema kongres XIV ISEI ini, yaitu "Membangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien dalam rangka pemulihan ekonomi nasional dan memperkokoh kesatuan panjang", merupakan tema yang aktual dan sangat menantang.

Marilah kita soroti masalah pembangunan ekonomi daerah dalam konteks pemulihan ekonomi nasional. Proses pemulihan ini masih berjalan tersendat-sendat. Banyak pihak memperkirakan bahwa proses ini masih akan panjang. Thesis "multiple equilibria" yang ditawarkan oleh Jeffrey Sachs dan Steven Radelet membantu menerangkan mengapa krisis ekonomi di Indonesia telah menjadi krisis yang demikian meluas dan mendalam. Pada intinya, krisis menjadi meluas dan mendalam karena faktor-faktor penularan (contagion), panik (panic) dan salah penanganan (mishandling). Tampaknya proses pemulihan ekonomi nasional juga ditandai oleh adanya "multiple equilibria". Ini bukan disebabkan oleh contagion tetapi oleh complacency; bukan oleh karena panic tetapi oleh karena faktor politics; tetapi mungkin sama-sama disebabkan oleh mishandling. Bila di waktu lalu mishandling itu bersumber pada faktor politik, kini mishandling juga disebabkan oleh faktor politik ditambah dengan incompetence.

Sejauh ini yang banyak disoroti adalah pengaruh dari kepentingan politik dan kepentingan kelompok terhadap proses pemulihan ekonomi. Intervensi politik merupakan gangguan terbesar bagi pemulihan ekonomi. Intervensi politik mempersulit pemberantasan KKN. Intervensi politik memperlambat, bahkan bisa menghentikan, reformasi ekonomi. Intervensi politik merupakan sumber distorsi ekonomi yang berdampak ekonomi yang luas. Dalam suasana transisi kepemimpinan politik, sejak Mei 1998 hingga Nopember 1999, intervensi politik cukup menonjol. Tetapi setelah kita mempunyai pimpinan baru yang legitimate, intervensi politik tampaknya masih akan kental, walaupun dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Era yang kita masuki sekarang adalah suatu era politik yang ditandai oleh gairah partisipasi yang besar dari partai-partai politik, baik melalui DPR atau di luar DPR. Dinamika politik baru ini belum bisa dan belum biasa membedakan antara pilihan politik yang luas dan kepentingan politik yang sempit. Sementara itu naluri dan emosi cenderung menggerakkan bandul pilihan kebijakan dari ekstrema yang satu ke ekstrema yang lain.

Namun politik hanyalah satu dari sejumlah faktor yang mempengaruhi proses pemulihan ekonomi. Yang juga mempunyai pengaruh besar, tetapi kurang mendapatkan perhatian, adalah faktor kelembagaan (termasuk perangkat perundang-undangan dan hukum) dan kemampuan atau kapasitas (capacity). Politik, kelembagaan, dan kapasitas, kesemua itu mempengaruhi pengembangan kebijakan (policy development), yang pada gilirannya ikut menetapkan agenda, membentuk pola serta mewarnai pelaksanaan program pemulihan ekonomi.

Agenda, pola serta program pemulihan ekonomi sebenarnya telah diletakkan sejak pertama kali dirumuskan suatu Memorandum Ekonomi yang merupakan lampiran dari Letter of Intent (LOI) Pemerintah Indonesia kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir Oktober 1997. Program itu berjangka waktu 3 tahun. Kita tentu masih ingat dengan jelas mengapa Memorandum Ekonomi itu berkali-kali harus direvisi dan bahkan mengalami strengthening, yang tepatnya diterjemahkan sebagai "pengketatan". Jika dipelajari sebab-sebab dan arah perubahan dari rangkaian LOI selama ini akan segera terlihat bahwa proses pemulihan ekonomi sejauh ini memang ditandai oleh "multiple equilibria".

Pengketatan yang dimaksudkan di atas tercermin dalam perumusan program yang semakin luas dan semakin rinci. Secara anekdotal pengketatan ini diungkapkan sebagai penambahan pekerjaan rumah, semula untuk mengerjakan 10 soal (dalam LOI pertama), kemudian ditambah menjadi 50 soal (dalam LOI berikutnya), dan akhirnya menjadi 120 soal. Pekerjaan rumah itu terus bertambah karena pekerjaan rumah yang sebelumnya tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Agenda pemulihan menjadi semakin banyak dan rumit. Pihak-pihak tertentu melihat LOI sebagai rangkaian "kondisionalitas" (conditionality) yang dituntut oleh IMF dari Indonesia. Dari sudut penglihatan ini, anekdot yang lebih sinikal menggambarkan strengthening itu sebagai penerapan disiplin yang terus meningkat (oleh IMF kepada kita). Semula kita diperlakukan sebagai murid SMU, kemudian sebagai murid SLU, lalu diperlakukan semakin ketat sebagai murid SD, atau bahkan sebagai murid TK. Proses pernilaian (review) yang semula dijadwalkan sekali setiap enam bulan diperpendek menjadi sekali dalam dua bulan.

Tetapi LOI dan Memorandum Ekonomi itu sebenarnya adalah program Pemerintah Indonesia, hasil negosiasi dengan IMF. Dokter IMF yang kita panggil datang memang membawa resepnya sendiri, dan sejak semula kita tahu obat apa yang akan diberikan. Namun banyak mata agenda dalam program pemulihan ekonomi itu, khususnya program reformasi struktural berasal dari kita sendiri, dan merupakan kelanjutan dari proses reformasi yang kita laksanakan sejak pertengahan tahun 1980an.

Walaupun terjadi pengketatan, terutama dalam program reformasi struktural itu, kondisi obyektif telah memungkinkan terjadinya "pelonggaran", seperti tercermin dalam perubahan target APBN. Semula IMF menggariskan surplus sebesar 1% PDB, target yang juga ditetapkan dalam program pemulihan ekonomi Thailand. Target ini diubah menjadi defisit sebesar 1% PDB, kemudian meningkat menjadi 3,5% PDB dan 6% PDB, bahkan dirasakan menjadi terlalu longgar ketika dimungkinkan defisit sebesar 8,5% PDB. Pemerintah sekarang menetapkan sendiri target yang lebih ketat, yaitu defisit sebesar kurang dari 5% PDB.

Faktor politik tampaknya merupakan sebab mengapa IMF sering dikambing-hitamkan. Tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal IMF telah memberikan obat yang keliru dan yang termasuk fatal, seperti likuidasi 16 bank pada tanggal 1 Nopember 1997, tanpa memperhitungkan kemungkinan dampaknya yang ternyata begitu luas dan merugikan. Tetapi persoalan utama dalam program pemulihan ini terdapat dalam konstruksinya. Program pemulihan ekonomi, apakah melibatkan 10 atau 50 atau 120 mata agenda, seharusnya merupakan penurunan dari suatu kerangka kebijakan yang koheren (coherent). Kondisi ekonomi politik yang ada selama 33 bulan terakhir ini tampaknya belum memungkinkan kita untuk merumuskan kerangka kebijakan tersebut.

Alhasil, kita cenderung untuk begitu saja mengambil alih suatu kerangka kebijakan yang berasal dari luar tanpa kita sendiri sempat untuk mengembangkannya dan menyesuaikannya dengan kondisi kita.

Pemerintah sekarang tampaknya sulit menjalankan program yang merupakan kelanjutan dari program sebelumnya, apalagi program yang telah menjadi begitu rinci. Bahkan sangat mungkin tim ekonomi dalam pemerintah sekarang tidak mendukung paradigma ekonomi yang mendasari program tersebut. Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah baru ini tidak mengajukan program yang lain? Pemerintah sekarang tampaknya juga berkeberatan jika diperlukan sebagai murid TK karena kesalahan pemerintah terdahulu. Tetapi mengapa pemerintah baru ini juga mengulangi kesalahan pemerintah lama dengan tidak melaksanakan isi dari LOI-nya sendiri?

Apakah pemerintah baru tidak merasa memiliki program itu? Kelemahan dalam pengembangan kebijakan mungkin merupakan sebab utama mengapa program pemulihan itu tidak diturunkan dari suatu paradigma ekonomi yang jelas dan menjadi landasan dari kebijakan ekonomi pemerintah ini. Tanpa rasa pemilikan (ownership) itu maka pelaksanaannya akan tersendat-sendat. Salah satu contoh adalah kebijakan harga BBM. Penyesuaian harga BBM digambarkan sebagai sesuatu yang dipaksakan oleh IMF. Padahal, perbaikan dalam penetapan atau pembentukan harga BBM merupakan kepentingan kita sendiri. Selama ini kita telah terjebak dalam kebijakan populis yang salah kaprah. Harga BBM dibuat semurah mungkin dengan memberikan subsidi. Besarnya subsidi BBM ditentukan oleh keadaan APBN dan bukan atas dasar pernilaian tentang kelayakan bagi penerimanya. Ini berarti bahwa harga BBM ditetapkan atas dasar kemampuan fiskal pemerintah dan mengabaikan kelangsungan penyediaannya secara efisien. Karena itu persoalan penyediaan menjadi semakin kacau, dan tidaklah mengherankan bila beban subsidi menjadi semakin membengkak. Ironisnya, kebijakan subsidi itu semakin menjauhi prinsip keadilan. Suatu program jangka menengah sudah lama diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Harga BBM di Indonesia sama sekali tidak masuk akal baik bagi kelangsungan penyediaannya maupun dilihat dari kaca mata pembangunan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan. Pemerintah bersama DPR memutuskan untuk menurunkan subsidi secara selektif dan bertahap serta dengan memberikan kompensasi bagi penduduk miskin. Menjelang penerapannya keputusan itu tiba-tiba dibatalkan, antara lain dengan pertimbangan bahwa kondisi fiskal memberikan peluang untuk melanjutkan kebijakan populis yang salah kaprah itu. Pemerintah yang terjebak dalam kebijakan populis yang salah kaprah ini akan menghadapi banyak kesulitan dalam proses memulihkan ekonomi.

Kelemahan dalam pengembangan kebijakan yang juga mempunyai pengaruh luas dan dalam adalah yang menyangkut kebijakan pelepasan aset oleh BPPN. Kebijakan memaksimalkan nilai perolehan tidak dapat diterapkan tanpa suatu kriteria, tetapi memang tidak jelas apakah ada kriteria obyektif yang dapat dipakai. Tetapi duduk persoalannya sudah jelas. Proses pelepasan yang lambat juga memperlambat proses pemulihan ekonomi dan membuat biaya restrukturisasi menjadi semakin tinggi. Bila diandaikan bahwa secara rata-rata tingkat pengembalian maksimal yang dapat dicapai adalah 32% dari nilai buku, mungkin perlu dibuat suatu kesepakatan bahwa pelepasan segera dengan perolehan sebesar hanya 20 sampai 25% merupakan pilihan kebijakan yang cukup masuk akal. Dalam pelaksanaan tugasnya BPPN juga tidak boleh dibebani dengan kebijakan yang mempunyai tujuan lain, misalnya suatu Indonesia-first policy atau suatu kebijakan industri (industrial policy) dalam arti sempit. Kini terdapat banyak godaan agar pemerintah menetapkan suatu kebijakan industri dengan melihat kesempatan penerapannya karena BPPN menguasai aset industri yang demikian besar. Pengalaman masa lalu dan juga dari negara lain telah menunjukkan besarnya kerugian yang diderita dari penerapan kebijakan industri oleh birokrasi.

Kelemahan dalam konstruksi program pemulihan itu juga tercermin dalam apresiasi yang rendah mengenai proses pembangunan kelembagaan dan kemampuan. Suatu kebijakan persaingan (competition law) disiapkan dalam waktu kurang dari satu tahun dan diundangkan tanpa ketegasan konsep dan kejelasan mengenai perangkat kelembagaan yang bisa berfungsi. Proses pembentukan peradilan niaga (bankruptcy court) juga demikian sehingga menghasilan peradilan yang sama sekali tidak mempunyai kredibilitas dan semakin memperparah proses restrukturisasi perbankan dan dunia korporat yang sudah berjalan demikian lambat. Upaya memperbaiki keadaan ini dengan mengangkat hakim ad hoc tidak akan berhasil jika tidak dapat diberikan jaminan keselamatan bagi para hakim ad hoc tersebut.

LOI juga menetapkan untuk membuat Bank Indonesia (BI) menjadi suatu lembaga yang independen, dan sejak setahun lalu BI sudah dinyatakan sebagai lembaga independen. Tetapi hingga hari ini belum ada kejelasan, termasuk mungkin bagi BI sendiri, apa yang diartikan sebagai lembaga independen itu. Ini menjadi masalah karena kita memang belum mempunyai tradisi di mana lembaga-lembaga pemerintahan yang independen berinteraksi secara baik dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan. Prinsip-prinsip penadbiran (governance) yang baik dapat mengembangkan pola-pola interaksi ini, juga dengan melibat pelaku-pelaku non-pemerintah. Prinsip-prinsip ini juga masih harus kita kembangkan, mungkin pada awalnya dengan meminjam berbagai konsep dari luar. LOI juga menetapkan mata agenda ini sebagai bagian dari proses pemulihan ekonomi dan pembangunan jangka menengah.

Uraian ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan kebijakan serta pembangunan kelembagaan dan kemampuan dalam dan bagi proses pemulihan ekonomi dan untuk menjamin pembangunan ekonomi berkelanjutan. Persoalan ini telah menjadi semakin sulit dan rumit karena proses pemulihan kita ini dilaksanakan dalam suatu era globalisasi yang tidak hanya menyempitkan ruang tetapi juga menyusutkan waktu. Pembangunan kelembagaan dan kemampuan membutuhkan waktu, tetapi kita dituntut untuk meng-akselerasi proses ini agar bisa berpartisipasi dengan sukses dalam ekonomi global. Sementara itu pengembangan kebijakan ekonomi, politik dan sosial yang tepat untuk menghadapi globalisasi juga semakin dipersulit oleh merebahnya gelombang "anti-globalisasi" yang penuh retorika salah kaprah dan kerancuan yang bisa menyesatkan.

Dalam konteks inilah kita dihadapkan pada persoalan membangun ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien. Marilah kita pelajari lebih dahulu bagaimana kita menilai daya saing suatu ekonomi. Daya saing suatu ekonomi tidak dapat dinyatakan oleh ukuran-ukuran parsimonial seperti Revealed Comparative Advantage (RCA) yang berlaku untuk suatu komoditi tertentu dan bersifat ex post. Suatu konsep yang lebih luas perlu dikembangkan, walau pun Paul Krugman bersikeras bahwa konsep competitiveness bukanlah suatu konsep untuk diterapkan pada suatu ekonomi (negara) tetapi lebih tepat bagi perusahaan-perusahaan dalam ekonomi (negara) bersangkutan.

Setiap tahun lembaga seperti World Economic Forum (WEF) dan International Institute for Management Development (IIMD) menerbitkan daftar peringkat daya saing internasional sejumlah negara. Indeks daya saing itu ditetapkan berdasarkan pernilaian atas delapan kelompok karakteristik struktural ekonomi bersangkutan. Kedelapan karakteristik itu adalah: (1) keterbukaan terhadap perdagangan dan keuangan internasional; (2) peran fiskal dan regulasi pemerintah; (3) pembangunan pasar finansial; (4) kualitas infrastruktur; (5) kualitas teknologi; (6) kualitas manajemen bisnis; (7) fleksibilitas pasar tenaga kerja dan pembangunan sumber daya manusia; dan (8) kualitas kelembagaan hukum dan politik. Menurut ukuran ini daya saing ekonomi sebenarnya ditentukan oleh ketiga faktor tadi: kebijakan, kelembagaan dan kemampuan. Pengembangan ketiga faktor ini merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitf. Pada akhirnya kekuatan kelembagaan dan kemampuan nasional seharusnya bukanlah yang dicerminkan dengan yang terdapat di Jakarta tetapi dengan yang ada di seluruh Indonesia. Daya saing ekonomi daerah tidak dapat dilihat dalam konteks nasional, yaitu antar ekonomi daerah, tetapi harus dikembangkan dalam konteks internasional. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembangunan ekonomi daerah harus diselenggarakan dengan pola yang secara tegas berorientasi ke luar.

Dalam tahun-tahun mendatang ini agenda pembangunan ekonomi daerah akan didominasi oleh program desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah. Tujuan program ini jauh lebih luas dari pembangunan ekonomi daerah, yaitu untuk meningkatkan rasa keadilan, mengembangkan partisipasi rakyat dan suatu sistim sosial-politik yang demokratis, serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa. Pola desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat memenuhi semua tujuan itu tidak mudah untuk dirancang. Tujuan-tujuan di atas ingin ditampung dalam UU No 22/1999 dan UU No 25/1999. Dalam berbagai masih terdapat berbagai kerancuan dalam pelaksanaan program ini. Salah satu kerancuan terlihat dari meningkatnya keraguan untuk memberikan otonomi pada daerah Tingkat II.

Pengalihan kewenangan ke Tingkat II menjanjikan pengembangan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan pembangunan sistim yang semakin demokratis. Tetapi otonomi di Tingkat II untuk beberapa tahun mendatang, mungkin sampai 10 tahun, belum tentu menjamin terselenggaranya pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien karena pengembangan kebijakan dan pembangunan kelembagaan dan kemampuan di banyak daerah Tingkat II akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Lemahnya pengembangan kebijakan serta kelembagaan dan kemampuan di daerah sangat tampak dari minimimnya prakarsa di daerah dan usulan-usulan yang datang dari daerah untuk melaksanakan program desentralisasi dan otonomi daerah. Di waktu lalu pembangunan daerah digagaskan dan dilaksanakan terutama oleh pusat. Kini terdapat bahaya bahwa proses desentralisasi juga akan diselenggarakan secara tersentralisasi.

Peranan pusat mungkin akan tetap besar dalam bidang fiskal. Arsitektur fiskal pola lama sangat timpang secara vertikal walaupun cukup seimbang secara horizontal. Dorongan untuk merombak arsitektur ini sangat masuk akal tetapi bila tidak dirancang dengan baik bisa menghasilkan artistektur fiskal yang kurang timpang secara vertikal tetapi penuh dengan ketimpangan secara horizontal. Suatu keseimbangan vertikal dan horizontal merupakan prasyarat bagi terjaganya kesatuan bangsa. Dalam rancangbangun baru peranan pusat untuk menjaga keseimbangan horizontal itu dilakukan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang mungkin akan tetap besar selama 10 tahun mendatang.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya merupakan salah satu pencerminan kemampuan daerah, tetapi keragaman yang besar dalam kemampuan itu sudah menunjukkan bahwa selain masalah sequencing dalam desentralisasi dan pemberian otonomi juga perlu dirancang pelaksanaan bertahap sesuai kemampuan masing-masing daerah.

Data-data untuk tahun 1996 menunjukkan bahwa secara rata-rata PAD untuk 53 kotamadya mencapai sekitar 22,4% dari total penerimaan sedangkan PAD untuk 232 kabupaten mencapai 10,3%. Suatu pemetaan berdasarkan PDRB per kepala dan PAD sebagai persen dari total penerimaan menunjukkan bahwa dari jumlah kabupaten tersebut hanya 17 kabupaten (4 di luar Jawa dan Bali) mempunyai PAD dan PDRB per kepala di atas rata, sedangkan 103 kabupaten mempunyai PAD dan PDRB per kepala di bawah rata-rata. Untuk ke 53 kotamadya, hanya 8 kotamadya (semua di Jawa dan Bali) yang mempunyai PAD dan PDRB per kepala di atas rata-rata, sedangkan sebanyak 26 atau sekitar 50 persen, berada di bawah rata-rata.

Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Melihat keragaman kemampuan maka pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap menurut kemampuan daerah. Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Maka sangat mungkin diperlukan suatu kesepakatan baru. Proses desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat daerah -- khususnya daerah Tingkat II. Ini merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien.

LINGKUNGAN SOSIAL DAN BUDAYA

Manusia adalah makhluk hidup yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial. Sebagai makhluk biologis, makhluk manusia atau “homo sapiens”, sama seperti makhluk hidup lainnya yang mempunyai peran masing-masing dalam menunjang sistem kehidupan. Sebagai makhluk sosial, manusia merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat secara berkelompok membentuk budaya.

Ada perbedaan mendasar tentang asal mula manusia, kelompok evolusionis pengikut Darwin menyatakan bahwa manusia berasal dari kera yang berevolusi selama ratusan ribu tahun, berbeda dengan kelompok yang menyanggah teori evolusi melalui teori penciptaan, yang menyatakan bahwa manusia itu diciptakan oleh Allah.

Pemahaman tentang hidup dan kehidupan, itu tidak mudah. Makin banyak hal yang Anda lihat tentang gejala adanya hidup dan kehidupan, makin nampak bahwa hidup itu sesuatu yang rumit. Pada individu dengan organisasi yang kompleks, hidup ditandai dengan eksistensi vital, yaitu: dimulai dengan proses metabolisme, kemudian pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dan adaptasi internal, sampai berakhirnya segenap proses itu bagi suatu “individu”. Tetapi bagi “individu” lain seperti sel-sel, jaringan, organ-organ, dan sistem organisme yang termasuk dalam alam mikroskopis, batasan hidup adalah tidak jelas atau samar-samar.

Kehidupan adalah fenomena atau perwujudan adanya hidup, yang didukung tidak saja oleh makhluk hidup (biotik), tetapi juga benda mati (abiotik), dan berlangsung dalam dinamikanya seluruh komponen kehidupan itu. Ada perpaduan erat antara yang hidup dengan yang mati dalam kehidupan. Mati adalah bagian dari daur kehidupan yang memungkinkan terciptanya kehidupan itu secara berlanjut.

Makhluk hidup bersel satu adalah makhluk yang pertama berkembang. Jutaan tahun kemudian kehidupan di laut mulai berkembang. Binatang kerang muncul, lalu ikan kemudian disusul amphibi. Lambat laun binatang daratan berkembang pula muncul reptil, burung dan binatang menyusui. Baru kira-kira 25 juta tahun yang lalu muncul manusia kemudian berkembang berkelompok dalam suku-suku bangsa seperti saat ini, dan hampir di setiap sudut bumi ditempati manusia yang berkembang dengan cepat.

Lingkungan hidup adalah suatu konsep holistik yang berwujud di bumi ini dalam bentuk, susunan, dan fungsi interaktif antara semua pengada baik yang insani (biotik) maupun yang ragawi (abiotik). Keduanya saling mempengaruhi dan menentukan, baik bentuk dan perwujudan bumi di mana berlangsungnya kehidupan yaitu biosfir maupun bentuk dan perwujudan dari kehidupan itu sendiri, seperti yang disebutkan dalam hipotesa Gaia. Lingkungan hidup yang dimaksud tersebut tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, oleh karena itu yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup manusia.

Permasalahan Lingkungan Hidup

Belum ada definisi tentang lingkungan sosial budaya yang disepakati oleh para ahli sosial, karena perbedaan wawasan masing-masing dalam memandang konsep lingkungan sosial budaya. Untuk itu digunakan definisi kerja lingkungan sosial budaya, yaitu lingkungan antar manusia yang meliputi: pola-pola hubungan sosial serta kaidah pendukungnya yang berlaku dalam suatu lingkungan spasial (ruang); yang ruang lingkupnya ditentukan oleh keberlakuan pola-pola hubungan sosial tersebut (termasuk perilaku manusia di dalamnya); dan oleh tingkat rasa integrasi mereka yang berada di dalamnya.

Oleh karena itu, lingkungan sosial budaya terdiri dari pola interaksi antara budaya, teknologi dan organisasi sosial, termasuk di dalamnya jumlah penduduk dan perilakunya yang terdapat dalam lingkungan spasial tertentu.

Lingkungan sosial budaya terbentuk mengikuti keberadaan manusia di muka bumi. Ini berarti bahwa lingkungan sosial budaya sudah ada sejak makhluk manusia atau homo sapiens ini ada atau diciptakan. Lingkungan sosial budaya mengalami perubahan sejalan dengan peningkatan kemampuan adaptasi kultural manusia terhadap lingkungannya.

Manusia lebih mengandalkan kemampuan adaptasi kulturalnya dibandingkan dengan kemampuan adaptasi biologis (fisiologis maupun morfologis) yang dimilikinya seperti organisme lain dalam melakukan interaksi dengan lingkungan hidup. Karena Lingkungan hidup yang dimaksud tersebut tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, maka yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup manusia.

Rambo menyebutkan ada dua kelompok sistem yang saling berinteraksi dalam lingkungan sosial budaya yaitu sosio sistem dan ekosistem. Sistem sosial tersebut meliputi: teknologi; pola eksploitasi sumber daya; pengetahuan; ideologi; sistem nilai; organisasi sosial; populasi; kesehatan; dan gizi. Sedangkan ekosistem yang dimaksud meliputi tanah, air, udara, iklim, tumbuhan, hewan dan populasi manusia lain. Dan interaksi kedua sistem tersebut melalui proses seleksi dan adaptasi serta pertukaran aliran enerji, materi, dan informasi.

STRUKTUR DAN FUNGSI EKOSISTEM

Struktur Ekosistem

Manusia sebagai mahluk sosial, tidak dapat hidup secara individu, selalu berkeinginan untuk tinggal bersama dengan individu-individu lainnya. Keinginan hidup bersama ini terutama berhubungan dalam aktivitas hidup pada lingkungannya. Manusia mempunyai kedudukan khusus terhadap lingkungannya dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya, yaitu sebagai khalifah atau pengelola di atas bumi.

Manusia dalam hidup berkelompok ada yang membentuk masyarakat, dan tidak setiap kelompok dapat disebut masyarakat, karena masyarakat mempunyai syarat-syarat tertentu sebagai ikatan kelompok. Masyarakat dapat diartikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

Dinamika masyarakat memberikan kesempatan kebudayaan untuk berkembang, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan sebagai wadah pendukungnya.

Azas-azas dan ciri-ciri kehidupan berkelompok pada mahluk hidup, juga dijalani oleh manusia dalam bermasyarakat.

Fungsi Ekosistem

Kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan yang harus di dapatnya dengan belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan.

Kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah laku dan pola bertingkah laku, baik secara eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.

Kebudayaan mencakup ruang lingkup yang luas, yang wujudnya dapat berupa kebudayaan hasil rasa atau sistem budaya (norma, adat istiadat), hasil cipta (fisik) dan konsep tingkah laku (sistem sosial).

Kebudayaan dimulai sejak adanya mahluk Homo Neanderthal (ras manusia yang sudah punah) kurang lebih 200.000 tahun yang lalu. Mahluk ini diperkirakan sudah mempunyai bahasa, dengan volume otak yang hampir sama dengan manusia. Kemudian muncul mahluk homo sapiens kurang lebih 80.000 tahun yang lalu. Dua unsur yang memungkinkan kebudayaan manusia bisa berevolusi adalah bahasa dan akal.

Perkembangan kebudayaan berkembang sangat lamban dimulai dari adanya mahluk Neanderthal hingga revolusi pertanian (10.000 th. yang lalu), tetapi sejak revolusi industri (abad 18 M), kebudayaan berkembang dengan pesat. Lebih-lebih zaman sekarang (abad 20) yang ditandai dengan gencarnya inovasi teknologi; era informasi; peluang ekonomi yang tak terbayangkan sebelumnya; dan reformasi politik yang radikal dan berdampak global. Sehingga ada kecenderungan berbudaya gaya internasional. Perkembangan budaya ini dipengaruhi oleh alam pikiran yang menjadikan tahapan perkembangan dalam budaya mitis, ontologis, dan fungsional.

Begitu banyak unsur-unsur budaya yang ada di dunia ini, namun ada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal, yaitu tujuh unsur kebudayaan meliputi: bahasa; sistem pengetahuan; organisasi sosial; sistem peralatan hidup dan teknologi; sistem mata pencaharian hidup; sistem religi; dan kesenian. Ketujuh unsur budaya ini terintegrasi sebagai satu kesatuan yang utuh dalam suatu masyarakat sebagai ciri dari suatu budaya melalui proses penyesuaian, sehingga memungkinkan unsur-unsur tersebut berfungsi secara seimbang. Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, integrasi sosial sebagai usaha untuk menjalin hubungan yang serasi.

KOMUNITAS, POPULASI, DAN SPESIES

Komunitas

Kota adalah salah satu habitat manusia yang merupakan lingkungan alam yang telah berubah drastik menjadi lingkungan buatan, untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Batasan kota bervariasi tergantung dari sudut pandang pengamat.

Pola lokasi kota bervariasi karena banyak faktor-faktor yang mempengaruhi. Sedangkan untuk struktur ruang kota, ada tiga pola ruang kota yaitu berupa lingkaran konsentris, pola sektor, dan pola inti ganda.

Memahami kehidupan dan lingkungan hidup kota tak ubahnya kita memahami jasad hidup, yaitu jasmani kota dan rohani kota. Jasmani kota ada yang berupa metabolisme kota, peredaran makanan atau darah kota, sistem syaraf kota, dan tulang-tulang struktur kota yang berupa infrastruktur.

Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui ciri-ciri kota dan masyarakatnya, sebagai berikut:

1. Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus (satu kota bisa berbeda dengan fungsi kota yang lain).

2. Mata pencaharian penduduknya di luar agraris (non-agraris).

3. Adanya spesialisasi pekerjaan warganya.

4. Kepadatan penduduk relatif tinggi.

5. Warganya relatif mobility.

6. Tempat permukiman yang tampak permanen.

7. Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, hubungan sosial yang impersonal dan external, serta personal segmentation, karena begitu banyaknya peranan dan jenis pekerjaan seseorang dalam kelompoknya sehingga seringkali orang tidak kenal satu sama lain, seolah-olah seseorang menjadi asing dalam lingkungannya.

Kota mempunyai fungsi tertentu yang berbeda antara satu dengan kota lainnya. Perbedaan tersebut akan menghasilkan karakter tertentu pula bagi penduduknya. Terciptalah pula suatu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sosial budaya yang berbeda dengan masyarakat di luarnya, antara satu kota dengan kota lainnya.

Populasi.

Pengertian desa sebagai tempat permukiman sangat beragam tergantung dari kacamata pengamatnya, bisa ditinjau dari aspek morfologi, aspek jumlah penduduk, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya serta aspek hukum.

Masyarakat desa selalu dikonotasikan dengan ciri tradisional, kuatnya ikatan dengan alam, eratnya ikatan kelompok, guyup rukun, gotong royong, alon-alon asal kelakon, dan paternalistik.

Pada umumnya mata pencaharian penduduk di perdesaan adalah bercocok tanam atau bertani. Ada pekerjaan lain seperti bertukang, kerajinan atau pekerjaan lain, tetapi pekerjaan ini merupakan pekerjaan sambilan sebagai pengisi waktu luang.

Pembagian kerja di desa relatif sederhana bila dibandingkan dengan kota. Struktur sosial di kota mengenal diferensiasi yang luas sedangkan di perdesaan relatif sederhana. Di perdesaan orang lebih menghayati hidupnya, terutama pada kelompok primer dan berorientasi pada tradisi, serta cenderung konservatif.

Pola ruang desa-desa Indonesia cukup bervariasi tergantung dari di mana lokasi desa itu berada, yaitu: Pola Melingkar; Pola Mendatar; Pola Konsentris; Pola memanjang jalur sungai atau Jalan; Pola Mendatar; dan Pola Konsentris Desa di Jawa Timur.

MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP

Kedudukan Manusia dalam Lingkungan Hidup dan Dinamika Populasi

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang meliputi hubungan antara masing-masing individu; antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok.

Melihat interaksi manusia dapat dilihat dalam dua tingkat (kacamata), yaitu tingkat hayati dan tingkat sosial atau budaya.

Interaksi sosial tidak akan terjadi bila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: (1) Adanya kontak sosial (social-contact); (2) adanya komunikasi (communications). Dan menurut ahli-ahli sosial bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (co-operation), persaingan (competition), pertentangan atau pertikaian (conflict), dan dapat juga berbentuk akomodasi (accommodation).

Menurut kacamata ahli ilmu alam, dasar proses interaksi manusia adalah kompetisi. Kompetisi itu pada hakekatnya berlangsung dengan proses kerjasama yang spontan dan tidak berencana, membentuk apa yang disebut koperasi yang kompetitif. Sebagai akibat timbullah apa yang disebut relasi yang simbiotik.

Relasi simbiotik itu dalam bentuk mutualisme, komensalisme, amensalisme, kompetisi, parasitisme, dan predasi.

Interaksi pada makhluk hayati terjadi secara netral, untuk keseimbangan ekosistem itu sendiri. Interaksi sosial pada manusia tidak terjadi secara netral, ada norma-norma moral manusia. Dalam interaksinya dengan lingkungan cenderung antroposentrik, sehingga membuka peluang manusia untuk bersifat eksploitatif terhadap lingkungannya. Tetapi dengan memadukan sikap imanen dan transenden sebagai dasar moral dan tanggung jawab dalam memanfaatkan alam sifat eksploitatif dapat lebih terkendali.

Lingkungan Hidup Buatan

Untuk memahami perilaku atau tingkah laku manusia dapat ditelusuri melalui persepsi manusia terhadap lingkungannya. Persepsi adalah stimulus atau sesuatu yang dapat memberikan rangsangan pada syaraf, yang ditangkap oleh panca indera serta diberi interpretasi (arti) oleh sistem syaraf.

Dalam melihat persepsi ini ada dua pendekatan yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan ekologis dari Gibson.

Usaha menjelaskan perilaku sebagai ungkapan persepsi dapat dilihat dari interaksi antara rangsangan (stimulus) terhadap reaksi (respons). Beberapa aliran hubungan Stimulus – Response antara manusia dengan lingkungannya, adalah: aliran determinisme; interaksionisme; dan transaksionisme.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap lingkungannya, adalah faktor obyek fisik dan faktor individu. Hasil interaksi individu dengan obyek fisik menghasilkan persepsi individu tentang obyek tersebut.

Sedangkan respon manusia terhadap lingkungannya bergantung pada bagaimana individu mempersepsikan lingkungannya. Respon ini dapat dilihat dari gejala-gejala persepsi mereka terhadap ruang sebagai lingkungan tempat tinggalnya, yaitu meliputi personal space, privacy, territoriality, crowding dan density, peta mental, serta stress.

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Sumber Daya Alam Secara Umum

Pembangunan adalah sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa.

Konsep pembangunan tersebut dapat dilihat sebagai konsep pertumbuhan (growth); rekonstruksi (reconstruction); modernisasi (modernization); westernisasi (westernization); pembangunan bangsa (nation building); pembangunan nasional (national development); pembangunan sebagai pengembangan negara; dan pembangunan sebagai upaya pemenuhan hidup, kebebasan memilih dan harga diri.

Di Indonesia teori pembangunan dijabarkan sebagai konsep pembangunan bertahap yaitu: pembangunan berimbang (balanced development); tahap pembangunan memenuhi kebutuhan pokok; tahap pembangunan dengan pemerataan; dan terakhir adalah tahap pembangunan dengan kualitas hidup, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan strategi yang diterapkan adalah Trilogi Pembangunan meliputi: pertumbuhan ekonomi; pemerataan kesejahteraan sosial; dan stabilitas politik. Jika kita lihat tahapan pembangunan pada teori pembangunan tersebut di atas, terlihat bahwa Indonesia pun mengikuti tahapan pembangunan tersebut.

Konsekuensi pembangunan adalah melakukan perubahan sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan perubahan baik pada lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya ini berdampak positif dan negatif.

Neraca pembangunan yang terjadi saat ini dirasakan tidaklah menggembirakan. Di satu sisi ada kemajuan, di lain sisi ditemukan kerusakan lingkungan yang secara serius akhirnya mengganggu kehidupan manusia dan kelangsungan pembangunan itu sendiri. Hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, yang sedang giat-giatnya membangun, tetapi juga di alami oleh negara-negara maju.

Oleh karena itu, muncullah konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai upaya meleburkan atau melarutkan lingkungan ke dalam pembangunan, yaitu dengan tetap berusaha atau membangun tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya. Setelah permasalahan lingkungan dirasakan dapat mengganggu kehidupan manusia dan kelangsungan pembangunan itu sendiri.

Sumber Daya Alam Terbarui

Perubahan sosial adalah suatu perubahan yang terjadi pada sistem sosial yang mencakup tata nilai sosial, sikap, dan pola perilaku kelompok. Perubahan sosial merupakan perubahan kelembagaan masyarakat dan perubahan individu.

Ada lima bentuk perubahan sosial, yaitu: (1) perubahan evolusioner; (2) perubahan revolusioner; (3) perubahan dialektikal; (4) perubahan dipaksakan; dan (5) perubahan terkendali.

Sedangkan perubahan bentuk perubahan budaya adalah: (1) Alkulturasi; (2) Asimilasi; (3) Difusi; (4) Sinkretisme; dan (5) Penetrasi.

Dalam konteks pengelolaan lingkungan, masyarakat tradisional lebih bersandar pada penyesuaian masyarakat pada lingkungannya. Sedangkan masyarakat modern mengandung lebih banyak unsur yang berkaitan dengan mengatasi atau mengubah kendala lingkungan hidup.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dapat dibagi dalam 2 sifat yaitu perubahan endogenik (perubahan dari dalam), dan perubahan exogenik (dari luar).

Pada umumnya perubahan dari luar akan mempunyai dampak yang lebih besar, dan lebih banyak berhubungan dengan aspek pembangunan, serta bersifat revolusioner. Walaupun demikian tidak berarti bahwa perubahan dari dalam tidak bisa serius.

Di dalam suatu masyarakat yang sedang membangun, perlu terjadi suatu perubahan sosial yang diberi nama modernisasi. Modernisasi dapat diartikan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua aktifitas, semua bidang kehidupan, atau semua aspek-aspek masyarakat. Untuk mendukung modernisasi perlu suatu tata nilai modern pada individu, yang mencakup kualitas pribadi dan tersebarnya pengetahuan ilmiah serta keterampilan teknis. Tata nilai modern pada individu harus melembaga pula pada suatu kelembagaan sosial yang modern. Mana yang menjadi unsur utama, para ahli masih belum ada kesepakatan.

Dari pengalaman pembangunan di Dunia Ketiga, diketahui bahwa modernisasi tanpa didukung oleh perubahan sosial tidaklah efektif. Oleh karena itu, perubahan sosial hendaknya memperhatikan nilai teologi etis atau teologi pembebasan dan bersifat suatu perubahan sosial yang baru atau pembaruan yang dibawa oleh tokoh-tokoh agen pembaruan.

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Pembangunan Konvensional dan Permasalahan Lingkungan Hidup

Pendudukan dan lingkungan hidup berkaitan erat. Keprihatinan tentang masalah kependudukan sebetulnya telah lama dirasakan. Sekarang keprihatinan itu telah meningkat kembali setelah kita sendiri menjadi lebih sadar tentang berbagai dampak pertumbuhan penduduk yang tak terkendalikan di negara kita sendiri.

Bersamaan dengan meningkatnya kesadaran lingkungan hidup, telah meningkat pula kesadaran tentang kaitan antara lingkungan hidup dengan aspek kependudukan.

Bagi lingkungan sosial, masalah kependudukan dan lingkungan hidup merupakan unsur atau komponen dari masalah lingkungan sosial, yaitu masalah perubahan sosial di segala segi kehidupan, akibat perubahan dari segi material dan teknologi yang lebih cepat dari pada laju perubahan dari segi tata nilai atau gaya hidup.

Oleh karena itu, untuk menanggapi masalah kerusakan lingkungan hidup, pola hidup penduduk harus berubah sehingga tumbuh masyarakat yang mampu menopang suatu pembangunan yang dapat memperbaiki mutu kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya.

Untuk menumbuhkan masyarakat yang seperti itu, perlu dikembangkan prinsip etika (prinsip pertama dari prinsip-prinsip berkelanjutan) yang mengindahkan semangat gotong royong. Di atas prinsip gotong royong dikembangkan empat prinsip berkelanjutan, yaitu:

1. Prinsip meningkatkan kualitas hidup. Pembangunan ini baru berarti jika meningkatkan kualitas hidup dalam segala seginya;

2. Prinsip melestarikan vitalitas dan keanekaragaman bumi agar pembangunan bisa berlanjut;

3. Prinsip minimalisasi penciutan sumberdaya alam yang tidak diperbarui; dan

4. Prinsip mengindahkan daya dukung lingkungan

Kualitas hidup yang tinggi, yang memperhatikan ekologi berkelanjutan sebagai hasil dari pembangun yang berkelanjutan, memerlukan indikator-indikator sebagai alat untuk mengukur kemajuan ke arah masyarakat yang berkelanjutan. Mencakup: kualitas hidup; keberlanjutan ekologi; keberlanjutan penggunaan sumber daya terbarukan dan meminimumkan penggunaan sumberdaya tak terbarukan; dan faktor sosial ekonomi.

Konsep Pembangunan yang Berkelanjutan

Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan seperti di laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Oleh karena itu, krisis lingkungan ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal melalui etika lingkungan yang dibutuhkan untuk menuntun manusia berinteraksi dengan alam semesta.

Ada dua pemahaman tentang etika, yaitu etika yang dipahami sebagai moral dan etika yang dipahami dalam pengertian yang berbeda dengan moralitas, sehingga mempunyai pengertian yang lebih luas dan merupakan refleksi kritis bagaimana manusia harus bertindak dalam situasi konkret dan situasi tertentu melalui penelusuran kritis teori etika deontologi, etika teleologi, dan etika keutamaan.

Sedangkan etika lingkungan di sini dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam.

Berbagai teori etika lingkungan dapat menjelaskan pola perilaku manusia dalam kaitan dengan lingkungan. beberapa teori etika lingkungan ini merupakan perkembangan pemikiran di bidang etika lingkungan, yaitu Shallow Environmental Ethic, Intermediate Environmental Ethic, dan Deep Environmental Ethic. Ketiga teori ini dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Ketiga teori ini mempunyai cara pandang yang berbeda tentang manusia, alam, dan hubungan manusia dengan alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar